Jamrud

Jumat, 28 Januari 2011

TEORI ETIKA DAN PRINSIP ETIS DALAM BISNIS

TEORI ETIKA DAN PRINSIP ETIS DALAM BISNIS

I. PENTINGNYA TEORI ETIKA

Kata etika memiliki beberapa makna, Webster’s Collegiate Dictionary yang dikutip oleh Ronald Duska dalam buku Accounting Ethics memberi empat makna dasar dari kata etika, yaitu:

1. Suatu disiplin terhadap apa yang baik dan buruk dan dengan tugas moral serta kewajiban.

2. Seperangkat prinsip-prinsip moral atau nilai-nilai

3. Sebuah teori atau sistem atas nilai-nilai moral

4. Prinsip atas pengaturan prilaku suatu individu atau kelompok

Sedangkan menurut Bertens etika dapat juga didefinisikan sebagai nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dari pengertian diatas mengisyaratkan bahwa etika memiliki peranan penting dalam melegitimasi segala perbuatan dan tindakan yang dilihat dari sudut pandang moralitas yang telah disepakati oleh masyarakat. Dalam prakteknya, terkadang penerapan nilai etika hanya dilakukan sebatas persetujuan atas standar moral yang telah disepakati untuk tidak dilanggar. Norma moral yang menjadi standar masyarakat untuk menentukan baik buruknya perilaku dan tindakan seseorang, terkadang hanya dianggap suatu aturan yang disetujui bersama tanpa dipertimbangkan mengapa aturan-aturan moral tersebut harus kita patuhi. Untuk itu, pemikiran-pemikiran yang lebih mendalam mengenai alasan-alasan mengapa kita perlu berperilaku yang etis sesuai dengan norma-norma moral yang telah disepakati, melahirkan suatu bentuk teori etika yang menyediakan kerangka untuk memastikan benar tidaknya keputusan moral kita.

Beberapa alasan mempelajari etika menurut Ronald Duska :

1. Beberapa kepercayaan moral yang dipegang mungkin tidak cukup karena itu hanya kepercayaan sederhana tentang isu-isu komplek. Pelajaran etika dapat membantu seseorang memecahkan isu yang komplek tersebut, dengan melihat apa yang prinsip-prinsip katakan tentang kasus itu.

2. Etika dapat menyediakan pengertian yang mendalam bagaimana menimbang dan memutuskan terhadap konflik prinsip dan menunjukan mengapa tindakan tertentu lebih dibutuhkan dari pada yang lain.

3. Cerminan etika dapat membuat kita lebih berpengetahuan dan teliti dalam masalah-masalah moral.

4. Alasan yang penting untuk mempelajari etika adalah untuk mengerti keadaan dan mengapa opini-opini kita berharga. Contohnya ketika tanggung jawab ke keluarga berbenturan dengan tanggung jawab kita terhadap pekerjaan dan bagaimana jalan keluarnya.

5. Alasan terakhir dalam mempelajari etika adalah untuk belajar mengidentifikasi prinsip-prinsip dasar etika yang dapat diaplikasikan pada tindakan.

Menurut ilmu pengetahuan, etika dibagi menjadi dua (Duska Duska,2005), yaitu:

  1. EtikaUmum
  2. Etika Khusus

Etika umum membahas prinsip-prinsip moral dasar. Sedangkan etikakhusus membahas tentang prinsip-prinsip dasar pada masing-masing bidang dalam kehidupan masyarakat. Etika khusus dibagi lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Etika individual membahas tentang kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri, sedangkan etika sosial membahas tentang kewajiban manusia sebagai anggota masyarakat (hubungan dengan sesama dan lingkungan) yang kemudian berkembang menjadi etika politik, etika keluarga, etika lingkungan, dan etika profesi. Profesi adalah suatu pekerjaan yang menuntut pengetahuan yang tinggi dan keahlian khusus, seperti dokter, notaris, akuntan yang selanjutnya disebut sebagai subjek profesional. Subjek professional memiliki apa yang disebut sebagai kode etik. Kode etik secara bahasa dikatakan sebagai sekumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan manusia.

Berdasarkan suatu teori etika, keputusan moral yang kita ambil bisa menjadi beralasan. Teori etika mampu menjelaskan mengapa tindakan-tindakan benar atau salah. Dengan kata lain suatu teori etika membantu kita untuk mengambil keputusan moral yang tahan uji, jika ditanyakan dasarnya. Sehingga teori etika dianggap mampu menyediakan justifikasi untuk keputusan kita.

II. PERKEMBANGAN TEORI ETIKA

Perkembangan wacana etika, sampai saat ini, tidak dapat dilepaskan dari berbagai pemikiran atas etika yang telah berlangsung berpuluh-puluh abad lalu di Yunani.

Pemikiran awal tentang etika dapat ditelusuri dari :

· Murid-Murid Pytagoras (570-496 SM)

Badan merupakan kubur jiwa, sehinggan jika manusia menginginkan jiwanya bebas dari badan maka perlu menumpuh jalan pembersihan. Jalan ini adalah bertapa dan bekerja secara rohani, terutama dengan berfilsafat dan bermatematika serta menyertakan musik dan gimnastik sebagai penertib dan penyelarasnya.

· Democritus (460-371 SM)

Aturan kehidupan bahwa manusia hendaknya mengusahakan keadilan. Menurut Democritus nilai tertinggi dalam kehidupan adalah pencapaian pada apa yang enak (yang kemudian menjadi sebuah kerangka untuk berkembangnya hedonisme)

· Kaum sofis (kaum bijak tetapi dikenal kurang baik pada jaman Yunani Klasik)

Baik dan buruk lebih merupakan masalah keputusan masing-masing atau kesepakatan bersama daripada suatu aturan abadi. Sampai-sampai salah satu dari mereka, Antiphon menyatakan bahwa hukum boleh dilanggar dengan tenang asal tidak ada yang melihatnya. Namun pandangan ini kemudian dipatahkan oleh Socrates.

· Socrates (469-399 SM)

Socrates yakin bahwa orang akan berbuat benar apabila ia mengetahui apa yang baik baginya. Perbuatan salah akibat kurang cerahnya pengertian diri manusian. Ia mau mengantar orang agar mengerti diri sendiri dan dengan demikian lepas dari kedangkalannya.

· Plato (427-348 SM)

Realitas yang sebenarnya bersifat rohani (jiwa) dan disebutnya idea. Puncak kesadaran filosofis tertinggi dalam idea ini adalah idea yang baik. Idea yang baik adalah Sang Baik itu sendiri dan Sang Baik ini adalah tujuan dari segala yang ada, yaitu Yang Ilahi.

· Aristoteles (384-322 SM)

Hidup yang baik bagi manusia adalah apabila ia mencapai apa yang menjadi tujuannya. Dengan mencapai tujuannya, maka manusia telah mencapai dirinya dengan sepenuhnya. Apapun tujuana hidup manusia adalah demi sesuatu yang baik dan bernilai.

Teori etika dapat disebut sebagai gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan dan dilarang. Dalam hal ini teori etika lahir dari berbagai aliran pemikiran etika dalam rangka mengkaji moralitas suatu tindakan yang berkembang sedemikian luasnya. Pencarian teori etika yang sepenuhnya memuaskan merupakan usaha yang tidak akan pernah selesai, karena tidak akan pernah ada suatu teori etika yang dapat sepenuhnya disepakati oleh semua orang. Sejak awal perkembangan filsafat etika, maka dua pendekatan dasar moral etika telah timbul. Satu pendekatan mendasarkan argumentasi pada akhir yang terjadi. Pendekatan ini disebut teleological approach, dimana yang paling menonjol adalah versi consequentialsm, yang berpendapat bahwa apakah suatu tindakan benar ataupun salah tergantung pada konsekuensi yang ditimbulkan. Bentuk yang umum dari versi consequentialism adalah utilitarianisme. Pendekatan yang lain disebut deontological approach, yang berpendapat bahwa tugas atau kewajiban (duty) adalah kategori moral dasar dan bahwa kewajiban tidak tergantung pada konsekuensi yang ditimbulkannya. Termasuk dalam pertimbangan pendekatan ini adalah pertimbangan akan kewaiban moral, hak (rights) dan keadilan (justice). Selain itu dalam perkembangannya muncul teori etika keutamaan (virtue ethics) dengan pendekatan yang tidak melihat sisi moral suatu tindakan, tetapi memfokuskan pada manusia sebagai pelaku moral yang memiliki keutamaan-keutamaan (virtue) yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya yang memungkinkan manusia untuk bertindak sesuai dengan tujuan spesifik sebagai manusia. Penjelasan mendalam mengenai teori-teori etika, adalah sebagai berikut:

  1. Teori Utilitarianisme

Kemunculan teori utilitarianisme merupakan pengembangan dari pemahaman etika teleologi yang dikembangkan terutama oleh tokoh-tokoh besar pemikiran etika dari Eropa seperti Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873) (Ludigdo, 2007). Etika teleologi ini, juga dikenal sebagai etika konsekuensialisme, yang memiliki pandangan mendasar bahwa suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan tujuan atau akibat dilakukannya tindakan tersebut. Namun dalam pemahamannya tidak mudah untuk menilai baik buruknya tujuan atau akibat dari suatu tindakan dalam kerangka etika, sehingga muncullah varian darinya yaitu egoisme dan utilitarianisme. Etika egoisme menilai baik buruknya tindakan dari tujuan dan manfaat tindakan tersebut bagi pribadi-pribadi. Pada akhirnya egoisme cenderung menjadi hedonisme, karena setiap manfaat atas suatu tindakan pribadi-pribadi yang berdasarkan kebahagian dan kesenangan demi memajukan dirinya sendiri tersebut biasanya bersifat lahriah dan diiukur berdasarkan materi.

Sementara itu utilitarianisme berkebalikan dengan dari egoisme. Utilitarianisme atau utilitarisme yang berasal dari kata Latin utilis yang berarti “bermanfaat”, berpandangan bahwa suatu perbuatan atau tindakan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Jadi utilitarianisme ini tidak boleh dimengerti dengan cara egoistis. Konsep dasar moral untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan menurut pemikiran utilitarianisme adalah the greatest happiness of the greatest number, kebahagian terbesar dari jumlah orang terbesar. Sehingga perbuatan yang mengakibatkan paling banyak orang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik.

Beberapa pandangan yang mendukung teori ini, menyatakan bahwa daya tarik pendekatan utilitarian terutama didasarkan pada nilai-nilai positif dari etika ini, yaitu rasionalitas, kebebasan, dan universalitas. Pertama, prinsip moral dari etika utilitarianisme yang didasarkan pada kriteria yang rasional, memungkinkan dasar yang jelas dan langsung untuk formulasi maupun menguji kebijakan atau tindakan. Dalam hal ini utilitarian tidak meminta kita untuk menerima aturan, kebijakan, atau prinsip tanpa alasan. Tetapi, meminta kita untuk menguji nilainya secara rasional terhadap standar manfaat. Kedua, utilitarianisme mengasumsikan kebebasan setiap orang dalam berperilaku dan bertindak. Kebebasan yang dimaksud dalam hal ini kebebasan memilih alternative tindakan yang dirasa memberikan manfaat sesuai dengan konsep the greatest happiness of the greatest number. Setiap orang bebas dalam berperilaku dan bertindak sesuai dengan pemikirannya sendiri, yang dilandasi dengan dasar kriteria yang rasional – dalam hal ini standar manfaat. Keistimewaan yang ketiga adalah universalitasnya. Etika utilitarianisme mengutamakan manfaat atau akibat dari suatu tindakan bagi banyak orang, dan kriteria ini dapat diterima dimana saja dan kapan saja.

Terlepas dari daya tariknya, teori utilitarianisme juga mempunyai kelemahan, antara lain:

a) Manfaat merupakan konsep yang kompleks sehingga penggunaannya sering menimbulkan kesulitan. Masalah konsep manfaat ini dapat mencakup persepsi dari manfaat itu sendiri yang berbeda-beda bagi tiap orang dan tidak semua manfaat yang dinilai dapat dikuantifikasi yang berujung pada persoalan pengukuran manfaat itu sendiri.

b) Utilitarianisme tidak mempertimbangkan nilai suatu tindakan itu sendiri, dan hanya memperhatikan akibat dari tindakan itu. Dalam hal ini utilitarianisme dianggap tidak memfokuskan pemberian nilai moral dari suatu tindakan, melainkan hanya terfokus aspek nilai konsekuensi yang ditimbulkan dari tindakan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa utilitarianisme tidak mempertimbangkan motivasi seseorang melakukan suatu tindakan.

c) Kesulitan untuk menentukan prioritas dari kriteria etika utilitarianisme itu sendiri, apakah lebih mementingkan perolehan manfaat terbanyak bagi sejumlah orang atau jumlah terbanyak dari orang-orang yang memperoleh manfaat itu walaupun manfaatnya lebih kecil.

d) Utilitarianisme hanya menguntungkan mayoritas. Dalam hal ini suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral sejauh tindakan tersebut menguntungkan sebagian besar orang, walaupun mungkin merugikan sekelompok minoritas. Dengan demikian, utilitarianisme dapat dikatakan membenarkan ketidakadilan, yaitu bagi kelompok yang tidak memperoleh manfaat.

Mengingat disatu pihak utilitarianisme memiliki keunggulan dan nilai positif yang sangat jelas, tetapi di pihak lain punya kelemahan-kelemahan tertentu yang sangat jelas pula, karena hal inilah muncul berbagai perdebatan atas kelemahan tersebut, maka diusulkan utililtarsime dibedakan menjadi dua macam Salah satu pendekatan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut adalah dikenalkannya pembedaan antara utilitarianisme-aturan (rule-utilitarian), dan utilitarianisme-tindakan (act-utilitarian) (Bertens, 2000).

Utilitarian-tindakan berpendapat bahwa prinsip dasar utilitarianisme (manfaat terbesar bagi jumlah orang terbesar) diterapkan dalam perbuatan. Prinsip dasar tersebut dipakai untuk menilai kualitas moral suatu perbuatan. Sedangkan utilitarian-aturan berpendapat bahwa suatu aturan moral umum lebih layak digunakan untuk menilai suatu tindakan. Ini berarti yang utama bukanlah apakah suatu tindakan mendatangkan manfaat terbesar bagi banyak orang, melainkan yang pertama-tama ditanyakan apakah tindakan itu memang sesuai dengan aturan moral yang harus diikuti oleh semua orang. Jadi manfaat terbesar bagi banyak orang merupakan kriteria yang berlaku setelah suatu tindakan dibenarkan menurut kaidah moral yang ada. Oleh karena itu, dalam situasi dimana kita perlu mengambil kebijakan atau tindakan berdasarkan teori etika utilitarianisme, perlu menggunakan perasaan atau intuisi moral kita untuk mempertimbangkan secara jujur apakah tindakan yang kita ambil memang manusiawi atau tidak terlepas dari perbedaan persepsi akan konsep manfaat itu sendiri, apakah kita membenarkan tindakan dengan manfaat yang telah kita perkirakan itu.

  1. Teori Deontologi – Kewajiban Moral

Aliran besar pemikiran etika kedua adalah deontologi. Tokoh besar aliran ini adalah Immanuel Kant (1724-1804) (Ludigdo, 2007), sehingga disebut juga sebagai Kantianisme. Istilah deontogi sendiri berasal dari kata Yunani “deon” yang berarti kewajiban (Bertens, 2000). Pandangan dasar dari pemikiran etika deontologi ini adalah bahwa penilaian baik atau buruknya suatu tindakan didasarkan pada penilaian apakah tindakan itu sendiri sebagai baik atau buruk. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendekatan deontologi ini berbeda dalam prinsipnya dengan utilitarianisme yang berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan tergantung pada konsekuensinya.

Immanuel Kant sebagai filsofis penting dalam memperkenalkan pendekatan deontologi ini, mengemukakan pandangannya bahwa suatu perilaku atau tindakan yang benar, bila dilakukan berdasarkan “imperatif kategoris” (Bertens,2000). Imperatif kategoris berarti mewajibkan yang tidak tergantung pada kondisi atau syarat apapun. Dari pernyataan tersebut, secara sepintas dapat disimpulkan bahwa konsep dasar imperatif kategoris yang dikemukakan oleh Kant yang menjadi landasan pendekatan deontologi, memiliki penilaian moral yang berbeda dengan konsep dasar utilitarianisme yang lebih memfokuskan konsep nilai-nilai moral pada pencapaian manfaat.

Selain itu Kant juga mengatakan, bagi hukum yang terpenting adalah legalitas perbuatan, artinya segi lahiriah perbuatan. Di dalam hukum yang dinilai adalah apakah suatu perbuatan bertentangan dengan hukum atau tidak. Sedangkan dalam konteks etika, legalitas suatu perbuatan tidak cukup, tapi harus diperhatikan juga moralitas perbuatan. Moralitas tidak terbatas dari segi lahiriah perbuatan tapi meliputi juga segi batinnya, artinya motif mengapa perbuatan itu dilakukan.

  1. Teori Hak dan Keadilan

Teori hak ini memiliki kaitan erat dengan teori deontologi, karena hak berkaitan dengan kewajiban. Kewajiban seseorang biasanya diikuti juga dengan hak dari orang lain. Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Maka, teori hak pun cocok diterapkan dengan suasana demokratis. Dalam arti, semua manusia dari berbagai lapisan kehidupan harus mendapat perlakuan yang sama. Seperti yang diungkapkan Immanuel Kant, bahwa manusia meruapakan suatu tujuan pada dirirnya (an end in itself). Karena itu manusia harus selalu dihormati sebagai suatu tujuan sendiri dan tidak pernah boleh diperlakukan semata-mata sebagai sarana demi tercapainya suatu tujuan lain (Bertens, 2000).

  1. Teori Etika Keutamaan

Pendekatan-pendekatan yang telah dibahas, baik utilitarian ataupun deontologi kewajiban, hak, keadilan semuanya memfokuskan terutama pada suatu prinsip atau norma. Kalau sesuai dengan norma, suatu tindakan adalah baik, kalau tidak sesuai, tindakan itu buruk, terlepas dari fokus norma yang melandasinya. Disamping teori-teori ini, ada suatu pendekatan lain yang tidak melihat tindakan, akan tetapi memfokuskan pada manusia sebagai pelaku moral. Teori ini adalah teori keutamaan (virtue) yang memandang karakter moral orang (Satyanugraha, 2003).

Keutamaan berasal dari terjemahan kata virtue yang sebenarnya berarti kebajikan, namun terjemahan yang paling dekat dengan kata arete yang dipakai Aristoteles maka berarti keutamaan. Menurut Aristoteles, keutamaan moral adalah kebiasaan yang memungkinkan manusia untuk bertindak yang sesuai dengan tujuan spesfiknya sebagai manusia. Agar manusia dapat bertindak sesuai dengan tujuan spesifiknya sebagai manusia, tentunya manusia dibekali dengan akal yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Dengan menggunakan akal ini, manusia dapat berpikir secara rasional untuk mempertimbangkan segala sifat-sifat keutamaannya sebagai seorang manusia dalam menjalani hidup. Oleh karena itu, keutamaan (virtue) dapat didefinisikan sebagai watak yang telah dimiliki seseorang dan memungkinkannya untuk bertingkah laku baik secara moral (Bertens, 2000 dalam Satyanugraha, 2003) Seseorang yang baik adalah hidup menurut keutamaan. Hidup yang baik adalah virtous of life (hidup keutamaan).

  1. Teori Etika Religius

Pemikir besar Eropa dari kalangan kristen adalah ThomasAquinas (1225-1274). Menurut aquinas, Tuhan adalah tujuan akhir manusia, karena Ia adalah nilai tertinggi dan universal, dan karenanya kebahagiaan manusia tercapai apabila ia memandang Tuhan.

Dalam perspektif religius pemikiran etika cenderung melepaskan kepelikan dialektika atau metodologis dan memusatkan pada usaha untuk mengeluarkan spirit moralitas islam denga cara lebih langsung berakar pada AL-Qur’an dan Sunnah. Dalam diskusi ini pengetahuan dan perbuatan menjadi unsur pencapain kebahagiaan. Sumber utama pengetahuan adalah Tuhan yang telah menganugerahkannya kepada manusia melalui berbagai cara.

III. PRINSIP ETIS DALAM BISNIS

Bisnis dapat diartikan sebagai kegiatan memproduksi dan menjual barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kegiatan bisnis terjadi karena keinginan untuk saling memenuhi kebutuhan hidup masing-masing manusia, dan masing-masing pihak tentunya memperoleh keuntungan dari proses tersebut. Tidak dapat disangkal bahwa pada umumnya orang berpendapat bahwa bisnis adalah untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Untuk memaksimumkan keuntungan tersebut, maka tidak dapat dihindari sikap dan perilaku yang menghalalkan segala cara yang sering tidak dibenarkan oleh norma moral.

Kalau memaksimalkan keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Mengapa begitu? Jika keuntungan menjadi satu-satunya tujuan, semuanya dikerahkan dan dimanfaatkan demi tercapainya tujuan itu, termasuk juga karyawan yang bekerja dalam perusahaan. Akan tetapi, memperalat karyawan karena alasan apa saja berarti tidak menghormati mereka sebagai manusia. Dengan itu dilanggar suatu prinsip etis yang paling mendasar kita selalu harus menghormati martabat manusia. Immanuel Kant, filsuf Jerman abad ke-18, menurutnya prinsip etis yang paling mendasar dapat dirumuskan sebagai berikut: “hendaklah memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka”. Mereka tidak boleh dimanfaatkan semata-mata untuk mencapai tujuan. Misalnya, mereka harus dipekerjakan dalam kondisi kerja yang aman dan sehat dan harus diberikan gaji yang pantas.

Sejarah mencatat Revolusi Industri yang terjadi dari 1760 sampai 1830 dengan tujuan untuk memaksimalisasi keuntungan, menyebabkan tenaga buruh dihisap begitu saja, sungguh diperalat. Upah yang diberikan sangat rendah, hari kerja panjang sekali, tidak ada jaminan kesehatan. Jika buruh jatuh sakit ia sering diberhentikan dan dalam keadaan lain pun buruh bisa diberhentikan dengan semena-mena. Lebih parahnya, banyak dipakai tenaga wanita dan anak dibawah umur, karena kepada mereka bisa diberikan upah lebih rendah lagi dan mereka tidak mudah memberontak. Hal ini menunjukkan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan usaha ekonomis bisa membawa akibat kurang etis.

Di satu pihak perlu diakui, bisnis tanpa tujuan profit bukan bisnis lagi. Di lain pihak keuntungan tidak boleh dimutlakkan. Keuntungan dalam bisnis merupakan suatu pengertian yang relatif. Ronald Duska (1997) dalam Bertens (2000), mencoba untuk merumuskan relativitas tersebut dengan menegaskan bahwa kita harus membedakan antara purpose (maksud) dan motive. Maksud bersifat obyektif, sedangkan motivasi bersifat subyektif. Keuntungan tidak merupakan maksud bisnis. Maksud bisnis adalah menyediakan produk atau jasa yang bermanfaat untuk masyarakat. Keuntungan hanya sekadar motivasi untuk mengadakan bisnis. Oleh karena itu, bisnis menjadi tidak etis, kalau perolehan untung dimutlakkan dan segi moral dikesampingkan.

Keuntungan memungkinkan bisnis hidup terus, tetapi tidak menjadi tujuan terakhir bisnis itu sendiri. Oleh karenanya tidak bisa dikatakan lagi bahwa profit merupakan satu-satunya tujuan bagi bisnis. Beberapa cara untuk melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis, dengan tidak mengabaikan perlunya (Bertens, 2000), adalah sebagai berikut:

· keuntungan merupakan tolak ukur untuk menilai kesehatan perusahaan atau efisiensi manajemen dalam perusahaan;

· keuntungan adalah pertanda yang menunjukkan bahwa produk atau jasanya dihargai oleh masyarakat;

· keuntungan adalah cambuk untuk meningkatkan usaha;

· keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan;

· keuntungan mengimbangi resiko dalam usaha.

Dari konsep relativitas keuntungan diatas, mengisyaratkan bahwa keuntungan bukan yang utama dalam bisnis. Persepsi manfaat dari pencapaian keuntungan harus dirubah, karena bisnis bukan semata-mata untuk memperoleh keuntungan materiil. Untuk itu prinsip-prinsip etika yang diterapkan dalam kegiatan bisnis pada perusahaan-perusahaan bisnis, haruslah mengacu pada stakeholders benefit. Stakeholders adalah semua pihak yang berkepentingan dengan kegiatan suatu perusahaan. Pihak berkepentingan internal adalah “orang dalam” dari suatu perusahaan: orang atau instansi yang secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti pemegang saham, manajer, dan karyawan. Pihak berkepentingan eksternal adalah “orang luar” dari suatu perusahaan: orang atau instansi yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti para konsumen, masyarakat, pemerintah, lingkungan hidup. Kita bisa mengatakan bahwa tujuan perusahaan adalah manfaat semua stakeholders. Misalnya, tidak etis kalau dalam suatu keputusan bisnis hanya kepentingan para pemegang saham dipertimbangkan. Bukan saja kepentingan para pemegang saham harus dipertimbangkan tapi juga kepentingan semua pihak lain, khususnya para karyawan dan masyarakat di sekitar pabrik.

Beberapa prinsip etis dalam bisnis telah dikemukakan oleh Robert C.Solomon (1993) dalam Bertens (2000), yang memfokuskan pada keutamaan pelaku bisnis individual dan keutamaan pelaku bisnis pada taraf perusahaan. Berikut dijelaskan keutamaan pelaku bisnis individual, yaitu:

1. Kejujuran

Kejujuran secara umum diakui sebagai keutamaan pertama dan paling penting yang harus dimiliki pelaku bisnis. Orang yang memiliki keutamaan kejujuran tidak akan berbohong atau menipu dalam transaksi bisnis. Pepatah kuno caveat emptor yaitu hendaklah pembeli berhati-hati. Pepatah ini mengajak pembeli untuk bersikap kritis untuk menghindarkan diri dari pelaku bisnis yang tidak jujur. Kejujuran memang menuntut adanya keterbukaan dan kebenaran, namun dalam dunia bisnis terdapat aspek-aspek tertentu yang tetap harus menjadi rahasia. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa setiap informasi yang tidak benar belum tentu menyesatkan juga.

2. Fairness

Fairness adalah kesediaan untuk memberikan apa yang wajar kepada semua orang dan dengan ”wajar” yang dimaksudkan apa yang bisa disetujui oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu transaksi.

3. Kepercayaan

Kepercayaan adalah keutamaan yang penting dalam konteks bisnis. Kepercayaan harus ditempatkan dalam relasi timbal-balik. Pebisnis yang memiliki keutamaan ini boleh mengandaikan bahwa mitranya memiliki keutamaan yang sama. Pebisnis yang memiliki kepercayaan bersedia untuk menerima mitranya sebagai orang yang bisa diandalkan. Catatan penting yang harus dipegang adalah tidak semua orang dapat diberi kepercayaan dan dalam memberikan kepercayaan kita harus bersikap kritis. Kadang kala juga kita harus selektif memilih mitra bisnis. Dalam setiap perusahaan hendaknya terdapat sistem pengawasan yang efektif bagi semua karyawan, tetapi bagaimanapun juga, bisnis tidak akan berjalan tanpa ada kepercayaan.

4. Keuletan

Keutamaan keempat adalah keuletan, yang berarti pebisnis harus bertahan dalam banyak situasi yang sulit. Ia harus sanggup mengadakan negosiasi yang terkadang seru tentang proyek atau transaksi yang bernilai besar. Ia juga harus berani mengambil risiko kecil ataupun besar, karena perkembangan banyak faktor tidak diramalkan sebelumnya. Ada kalanya ia juga tidak luput dari gejolak besar dalam usahanya. Keuletan dalam bisnis itu cukup dekat dengan keutamaan keberanian moral.

Selanjutnya, empat keutamaan yang dimiliki orang bisnis pada taraf perusahaan, yaitu:

1. Keramahan

Keramahan tidak merupakan taktik bergitu saja untuk memikat para pelanggan, tapi menyangkut inti kehidupan bisnis itu sendiri, karena keramahan itu hakiki untuk setiap hubungan antar-manusia. Bagaimanapun juga bisnis mempunyai segi melayani sesama manusia.

2. Loyalitas

Loyalitas berarti bahwa karyawan tidak bekerja semata-mata untuk mendapat gaji, tetapi juga mempunyai komitmen yang tulus dengan perusahaan. Ia adalah bagian dari perusahaan yang memiliki rasa ikut memiliki perusahaan tempat ia bekerja.

3. Kehormatan

Kehormatan adalah keutamaan yang membuat karyawan menjadi peka terhadap suka dan duka serta sukses dan kegagalan perusahaan. Nasib perusahaan dirasakan sebagai sebagian dari nasibnya sendiri. Ia merasa bangga bila kinerjanya bagus.

4. Rasa Malu

Rasa malu membuat karyawan solider dengan kesalahan perusahaan. Walaupun ia sendiri barang kali tidak salah, ia merasa malu karena perusahaannya salah.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants For Single Moms